MUSLIMAH MUJAHIDAH LAKSAMANA PERANG ANGKATAN LAUT PERTAMA DI ACEH.



KEUMALAHAYATI


Malahayati adalah panglima perang dari Aceh. Dia memimpin pasukan perempuan yang merupakan para janda prajurit Kekhalifahan Aceh yang gugur syahid dalam perang di Selat Malaka

PEREMPUAN itu berteriak lantang dari atas kapal. Suaranya beradu nyaring dengan gelegar meriam. Tegas. Memberi komando kepada pasukan perempuan di palagan perang. Itulah secuplik kisah tentang Keumala Hayati. Panglima perang Kekhalifahan Aceh. Dia adalah muslimah mujahidah pertama di nusantara dan bahkan dunia yang menjadi laksamana di zaman pelayaran modern. Saat sebagian besar para lelaki islam di negeri ini, duduk - duduk di rumah - rumah mereka sambil berangan - angan ingin menguasai lautan, ternyata PARA PEREMPUAN MEREKA dahulu telah terlebih dahulu menjadi SINGA - SINGA DI LAUTAN.
(Duuh, malunya wajah ini mau ditaruh dimana...)

Enam abad silam, perempuan yang juga disebut dengan nama Malahayati ini memimpin seribu lebih perempuan! Mereka para janda prajurit Kerajaan Aceh yang gugur syahid dalam pertempuran melawan Portugis di Teluk Haru alias Selat Malaka. Di dalam tubuh Malahayati memang mengalir darah kesatria. Bapaknya adalah Laksamana Mahmud Syah, panglima Kekhalifahan Aceh. Kakeknya, Muhammad Said Syah, juga seorang laksamana terkemuka. Kakek buyutnya, Sultan Salahuddin Syah, memimpin Aceh pada tahun 1530-1539M. Sultan Salahuddin merupakan putra Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri kekhalifahan Aceh Darussalam. Malahayati mengenyam pendidikan militer selepas dari ma'had / pesantren. Dia masuk jurusan angkatan laut akademi militer Kekhalifahan Aceh: Ma'had Baitul Maqdis, akademi militer kenamaan Kerajaan Aceh yang dibangun atas dukungan Sultan Selim II, Khalifah Turki Utsmaniyah. Di akademi militer itu, Malahayati tumbuh sebagai sosok brilian. Di situ pula dia bertemu dengan kakak angkatan yang kemudian menjadi suaminya. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam. Sang suami menjadi laksamana.Namun sayang, suaminya gugur syahid di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis. Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604M, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu. Gayung bersambut. Saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Kraung Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh. Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya seribu, lama-lama bertambah hingga mencapai dua ribu orang. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar! Pada 21 Juni 1599M, pasukan ekspedisi dari Belanda yang baru selesai berperang dengan Kesultanan Banten tiba di Aceh. Rombongan yang dipimpin oleh kafir Cornelis dan Frederick de Houtman itu tiba di pelabuhan dengan alasan untuk istirahat. Namun armada asing itu malah menyerbu pelabuhan Aceh. Kekhalifahan Aceh melawan. Laskar Inong Balee pimpinan Malahayati jadi tembok terdepan. PASUKAN JANDA itu sangatlah tangguh. Armada Belanda dilibas. Bahkan pada 11 September, de Houtman TEWAS di tangan Malahayati. Frederick de Houtman ditawan selama dua tahun setelah kemudian kepalanya dipenggal!
Tak kapok, Belanda mengirim pasukan pada 21 November 1600M. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.


Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent. Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranjesent,Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy. Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan vanCaerden. Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Sehingga negeri raksasa itu memilih cara damai saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602M, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh. Malahayati sungguh melegenda. Namanya saat ini dipakai untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angkatan Laut. Namun sayang, sangat sedikit literatur tentang tokoh sebesar Malahayati ini (inilah tabiat orang - orang kafir yg ingin menghilangkan sejarah keperwiraan para mujahidin pejuang islam). Sehingga tidak diketahui pasti kapan tahun lahir dan meninggalnya.

0 komentar: